Architectonik sebenarnya mempunyai arti yang luas untuk contoh hal yang kecil saja seprti ilmu proses pembuatan tempe disebut arsitektonik.Nah dalam pepper berikut akan dibahas arsitektonik menurut para pendapat/filsuf,Arsitektonik menurut karya filsafat,Arsitektonik Landscape.
Mengikuti Kenneth Frampton dalam “Studies in Tectonic Culture, 1995”, konon istilah tektonika diturunkan dari kata tekton yang berarti tukang kayu (carpenter) atau manusia pembangun (builder), yang pada gilirannya nanti akan berhubungan dengan istilah Sanskrit taksan, yang merujuk pada ketrampilan dan pertukangan kayu, atau hal yang berhubungan dengan penggunaan kampak (axe). ARSITEKTONIK Tektonika berkaitan erat dengan material struktur, dan konstruksi, namun tektonika lebih menekankan pada aspek estetika yang dihasilkan oleh suatu sistem struktur atau ekspresi dari suatu konstruksi dari pada aspek teknologinya. Penggunaan istilah tektonika sendiri sudah dikenal sejak lama dan telah mengalami perkembangan.
Arcitectonic berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu Techne atau Tecton yang artinya kepala atau kekuatan.
Pengertian Architectonic
• Architectonic adalah struktur logis yang diberikan oleh akal(terutama melalui pemanfaatan pembagian berlipat dua dan berlipat tiga),yang harus di gunakan oleh filsuf sebagai rencana untuk mengorganisasikan isi system apapun.
• Arcitectonic adalah hal yang berhubungan selaras atau menyesuaikan dengan kaidah arsitektural.
• architectonic.
1. Pertaining to architecture or to the arrangement of knowledge.
2. Suggesting in e.g. music or sculpture the qualities of architecture.
3. In the plural, the science of architecture or the systematic ordering of knowledge.
• Architectonic adalah Suatu karya(entah itu karya sastra,system filsafat atau karya ilmiah)dan dengan menyisihkan acuan biografis dan psikologis.
• Architectonic dengan artian kaidah arsitektural dalam suatu bangunan adalah dimana dalam sebuah bangunan terdapat jenis-jenis material,ukuran-ukuran,yang dipakai mulai dari akar sampai daun jika dalam sebuah bangunan mulai dari pondasi,dinding,pintu atau jendela,tangga,lantai sampai atap.Selain itu juga membahas tentang fungsi-fungsinya,material-materialnya dari konsep pembagian ruang-ruang sebuah bangunan.
• Contoh dari artian architectonic di atas yaitu :
Rumah Tua Suku Rejang, Bengkulu
Masyarakat Suku Rejang
Mata pencarian : Bertani dan berkebun
Arsitektonik (architectonic) : struktur logis yang diberikan oleh akal (terutama melalui pemanfaatan pembagian berlipat-dua dan berlipat tiga), yang harus digunakan oleh filsuf sebagai rencana untuk mengorganisasikan isi sistem apa pun.
Jenis Bangunan : Rumah Panggung
Fungsi : tempat tinggal
Tempat berlindung dr cuaca dan hewan buas
Tempat berlindung dari banjir
Pondasi : Bahan : Kayu
Fungsi : Sebagai penopang struktur bangunan
Ukuran : diameter : 50 cm
tinggi : 1.5 meter
Fungsi bagian bawah rumah panggung
Sebagai gudang
Sebagai tempat menyimpan kayu bakar, hasil pertanian dan perkebunan
Tangga : Bahan : Kayu medang kemuning
Jumlah anak tangga : Selalu ganjil
Alasannya : didasari makna/pengertian dan hitungan tangga, takik, tunggu, tinggal. Bilangan yang jatuh pada hitungan bilangan takik kat dan tinggal menurut kepercayaan mereka akan membinasakan rumah itu sendiri. Missal takik berarti hancur dan tinggal berarti tak ada yg bersedia menjaga di rumah itu
Bagian atas rumah panggung :
Berendo
Panjang berendo selebar rumah. Lantainya lebih rendah depicing (selangkah dari bagian dalam). Berendo memiliki fungsi social (tempat berbincang pagi dan sore dengan tamu dan tetangga akrab, menegur orang lewat, bermain ank-anak), fungsi ekonomis (tempat menukang, membuat alat transportasi), dan tempat menjemur pakaian.
Umeak Danea
Merupakan bagian ruang dalam paling depan. Umeak dana ini berfungsi sebagai tempat menerima tamu, musyawarah, tempat duduk para bujang waktu bersyair, dan tempat duduk tamu anak gadis.
Pedukuak
Merupakan tempat tidur orang tua, juga terdapat pemenyap atau tempat menyimpan barang berharga dan tikar.
Geligei
Loteng di atas pedukuak dan R. menyambei. Merupakan ruang tidur anak gadis dan tempat mereka menyambut tamu teman perempuannya. Tangga untuk naik ke geligei dapat di naik-turunkan. (lihat gambar potongan A-A)
Ruangmenyambei
Merupakan ruangan tempat perempuan menyambei. Ruangan ini dibatasi dengan sekat berupa jendela tak bertutup. Gang yang terdapat di ruang ini merupakan jalan menuju dapur (lihat gambar potongan A-A)
Dapur
Merupakan tempat untuk memasak, berdiang, dan tempat makan.
Ga-ang
Bagian dari dapur, dekat tangga luar belakang. Ga-ang merupakan ruang terbuka seperti berendo. Berfungsi tempat mencuci, menyimpan air, dan menjemur bahan makanan. Lantainya terbuat dari bambu bulat, sehingga waktu mencuci, air langsung mengalir ke bawah. Di ujung ga-ang terdapat Kepato Lesat Buluak Bioa (rak-rak tempat perian dan bambu air)
susunan dan fungsi ruang ini sangat ditaati oleh masyarakat Rejang. bagi mereka, malanggar susunan dan fungsi ruang pada rumah ini sama dengan melanggar adat istiadat.
Bagian-bagian pelengkap bangunan :
Lantai : Bahan : papan kayu
Dinding : Bahan : kayu
Ukiran : simbol-simbol flora seperti dedaunan dan bunga
Alasan : menurut kepercayaan agar diberi kemudahan dalam bertani dan berkebun dan memiliki keindahan dan kenyamana
Pilar/tiang : Bahan : Balok Kayu
Ukuran : 50 cm
Fungsi : Penopang struktur kuda-kuda
Pintu : Bahan : kayu medang kemuning
Ukiran : simbol-simbol flora seperti dedaunan dan bunga
Alasan : menurut kepercayaan agar diberi kemudahan dalam bertani dan berkebun dan memiliki keindahan dan kenyamanan.
Fisik Pintu :
Jendela dan ventilasi/bukaan : Bahan : Kayu
Fungsi : Sebagai sirkulasi udara
` Ukiran : simbol-simbol flora seperti dedaunan dan bunga
Alasan : menurut kepercayaan agar diberi kemudahan dalam bertani dan berkebun dan memiliki keindahan dan kenyamanan.
Jendela Ventilasi/bukaan
Plapon : Bahan : Papan Kayu
Fungsi : sebagai tempat mengeringkan biji kopi dan menyimpan hasil perkebunan dan pertanian
Lisplank : Bahan : Kayu
Ukiran : simbol-simbol flora seperti dedaunan dan bunga
Alasan : menurut kepercayaan agar diberi kemudahan dalam bertani dan berkebun dan memiliki keindahan dan kenyamanan.
Atap : Bahan : ijuk enau atau sirap
Fungsi : malindungi dari hujan dan terik matahari.
Architectonic menurut perkembangan jaman
Berawal ketika umat manusia berjalan dengan langkah terbata-bata menelusuri sebuah dasar ketidaktahuan akan alam semesta, lalu mencoba membaca alam semesta dengan berbagai metode. Berpikir tentang alam semesta lalu menyimpulkan alam semesta (induksi), dan melihat fenomena alam semesta lalu berpikir dan meyimpulkannya (deduksi). Maurice Marleu Ponty menyebutnya sebagai fenomenologi tubuh, yaitu membuat manusia bersituasi, tertanam, dan menyejarah sebagai langkah di dalam rentang waktu yang melahirkan sejarah (the birth of history).
Tahun 500 SM di Yunani diklaim sebagai masa munculnya (raison d ‘etre) tradisi arsitektur. Secara etimologi, kata arsitektur atau arche-tekton lahir dari tradisi Yunani. Dalam ranah metode berpikir Yunani terdapat pola pencampuran antara mitologi, mistisisme, dan matematika yang terangkum dalam ilmu filsafat Yunani. Dari dasar itulah terbentuk wujud arsitektur Yunani seperti arsitektur kuil tempat pemujaan terhadap dewa (kuil Parthenon), sistem proporsi matematis Golden Section yang lahir dari konsep Pythagoras serta kolom -kolom Doric, Ionic, Corinthian sebagai sistem simbol feodalisme Yunani.
Vitruvius berhasil mengalihkan perhatian dunia dan menembus batas jaman dengan menyusun naskah arsitektur pertama berjudul The Ten Books of Architecture. Sebagai bangsa Romawi Vitruvius berjalan tegap dengan angkuh melirik warisan tradisi bangsa Yunani sebagai bangsa jajahannya dan mencoba untuk mengambil keuntungan darinya, dalam rangka memperbaiki selera estetis bangsa Romawi yang pada saat itu hanya mengetahui cara berperang untuk memperluas kekuasaannya (will to power).
Seiring dengan berjalannya waktu, Vitruvius mencoba memodifikasi dengan menambahkan sentuhan pada khasanah arsitektur Yunani dengan harapan bangsa Romawi memiliki ciri khasnya sendiri. Vitruvius berkontribusi besar terhadap kemajuan arsitektur Romawi yang mengambil dasar dari arsitektur Yunani. Selain menghunuskan pedangnya, bangsa Romawi juga memperkenalkan arsitekturnya kepada bangsa-bangsa diseluruh daratan Eropa. Dapat disebutkan bahwa kedua era itu ialah era arsitektur Klasik.
Setelah bangsa-bangsa Eropa terlepas dari kekuasan bangsa Roma, timbul kegelisahan yang sangat mendasar yaitu hilangnya orientasi akan wujud arsitektur. Bahkan era ini disebut era kegelapan bagi bangsa-bangsa di Eropa karena keluar dari kerangka berpikir Yunani sebagai raison d‘etre kemajuan arsitektur. Mulai berkembang tradisi-tradisi arsitektur yang bernuansa keagamaan yaitu arsitektur Romanesque dan arsitektur Gothic sekitar pada abad ke-13, yang mewujudkan arsitektur pada skala Tuhan dengan harapan mendekatkan manusia dengan Tuhan. Di era ini sistem nalar rasional dibungkam sehingga sisi kreativitas dibatasi yang mengakibatkan kemajuan terhambat di segala lini kehidupan termasuk arsitektur.
Di dalam carut marutnya realitas yang sudah tidak bisa lagi mengatasi permasalahan-permasalahan hidup yang diawali oleh terjadinya Revolusi Perancis pada abad ke-15, bangsa Eropa mulai kembali pada romantisme era klasik yang sarat dengan konteks nalar rasional. Era ini disebut era Renaissance (pencerahan) dan meninggalkan era arsitektur yang bernuasakan agama. Ditandai dengan diktum Cogito Ergo Sum- nya Rene Descartes (ketika aku berpikir maka aku ada), arsitektur dikembalikan lagi pada skala manusia (antroposentris) dan era itu kemudian disebut sebagai era arsitektur Renaissance.
Perkembangan budaya dan teknologi terjadi sangat pesat di era ini,ditandai oleh terjadinya revolusi industri di Inggris sekitar pada abad ke-19. Perkembangan ini juga mempengaruhi arsitektur yaitu dengan munculnya era arsitektur modern. Seperti judul novel Charles Dickens, “A Tale of Two Cities” yang menggambarkan sebuah situasi perkotaan di mana terdapat ketidakadilan dan kekumuhan di tengah kemewahan kota. Situasi ini segera menyadarkan bahwa perumahan buruh perlu segera diproduksi besar-besaran di Eropa. Revolusi industri menunjang kebutuhan ini akibat dari penemuan berbagai teknologi bahan dan teknologi konstruksi untuk kepentingan produksi massal. Juga penemuan mekanika modern elevator sehingga bangunan bisa dipanjangkan ke atas mencakar langit. Selain arah selera estetika ditujukan pada kelas sosial ke bawah, teknologi juga dihayati efek bentuknya, sedangkan rasionalisme arsitektonik mulai pula dijelajahi. Ornamen mulai dipercayai oleh Adolf Loos sebagai wujud kejahatan arsitektural (ornament is a crime) karena tempelan dari ukiran dianggap sebagai kebenaran yang palsu. Maka konsep modernisme memang semakin mengkristal ke arah rasionalisme dan fungsionalisme yang digali dari era pencerahan (Aufklarung).
Fungsionalisme menjadi tujuan akhir dari era ini. Filosofis “bentuk mengikuti fungsi” yang dicetuskan oleh Louis Sullivan di Chicago menjadi doktrin yang sangat disukai. Pernyataan “less is more” oleh Mies van der Rohe.menjadi sebuah manifesto yang sangat pas dengan logika industri bangunan, bahwa estetika arsitektur harus berdasarkan prinsip itu.
Dari tradisi modern kemudian lahir sebuah pemahaman yang mencari otentisitas dari arah manifesto arsitektur modern yaitu gerakan avant garde. Di era ini arsitektur modern, arsitektur tradisional, dan klasik adalah representasi dan simbol dari penindasan yang dilakukan baik oleh feodalisme maupun totalitarianisme arsitokrasi. Dalam era arsitektur avant garde, seluruh tuntutan fungsionalisme modern secara teknis harus dapat dirumuskan terlebih dahulu ke dalam program arsitektur baru. Program menyimpan aksi-aksi dan rasionalitas ini yang kemudian membimbing lahirnya tipe-tipe rancangan arsitektur baru yang menurut Pevsner “jika sejarawan arsitektur meremehkan gaya, ia mandeg sebagai sejarawan”.
Pada tahun 1980, Paulo Portoghesi, Charles Jencks dan kawan-kawan berhasil mengorganisir biennale arsitektur dengan tema”kekinian masa lalu” di sebuah arsenal tua di Venezia. Disusul oleh pameran keliling “revisi atas yang modern : arsitektur postmodern 1960-1985” yang diselenggarakan oleh Heinrich Klotz. Kedua pertunjukan itu menunjukkan terjadinya perubahan besar dalam arsitektur selama dua dekade terakhir. Di sana terlihat hilangnya formalisme kesederhanaan yang universal-internasional ini. Bentuk yang muncul dalam era ini selain terpecah-pecah juga sering tak beraturan,diisi oleh rincian dekoratif dan ornamental yang terasa alusif (merupakan referensi tak langsung). Tradisi telah disambung kembali walaupun tak persis sama.
Robert Venturi di dalam bukunya yang berjudul Complexity and Contradiction in Architecture mencela arsitektur modern yang baik dalam praktek maupun akademis didominasi oleh Meisianisme: “less is more”. Venturi mengkritisi Mies sebagai ”penyederhana besar” dan mengubah doktrinnya dari “less is more” menjadi “less is bore”. Venturi berkeyakinan bahwa arsitektur postmodern lebih mengutamakan elemen gaya hibrida (ketimbang yang murni), komposisi paduan (ketimbang yang bersih), bentuk distorsi ( ketimbang yang utuh), ambigu (ketimbang yang tunggal), inkonsisten (ketimbang konsisten), serta kode ekuivokal (ketimbang monovokal).
• Architectonic menurut Para Pendapat ;
Kenneth Frampton's long-awaited follow-up to his classic A Critical History of Modern Architecture is certain to influence any future debate on the evolution of modern architecture.
Studies in Tectonic Culture is nothing less than a rethinking of the entire modern architectural tradition. The notion of tectonics as employed by Frampton—the focus on architecture as a constructional craft—constitutes a direct challenge to current mainstream thinking on the artistic limits of postmodernism, and suggests a convincing alternative. Indeed, Frampton argues, modern architecture is invariably as much about structure and construction as it is about space and abstract form.
Composed of ten essays and an epilogue that trace the history of contemporary form as an evolving poetic of structure and construction, the book's analytical framework rests on Frampton's close readings of key French and German, and English sources from the eighteenth century to the present. He clarifies the various turns that structural engineering and tectonic imagination have taken in the work of such architects as Perret, Wright, Kahn, Scarpa, and Mies, and shows how both constructional form and material character were integral to an evolving architectural expression of their work. Frampton also demonstrates that the way in which these elements are articulated from one work to the next provides a basis upon which to evaluate the works as a whole. This is especially evident in his consideration of the work of Perret, Mies, and Kahn and the continuities in their thought and attitudes that linked them to the past.
Frampton considers the conscious cultivation of the tectonic tradition in architecture as an essential element in the future development of architectural form, casting a critical new light on the entire issue of modernity and on the place of much work that has passed as "avant-garde."
Gavin Keeney
The historical, diachronic interplay of landscape + architecture in modern architectural production is/was at times a visionary pas de deux, while at other times an anti-visionary danse macabre (danse mecanique). In the latter case, landscape (milieu, ambiance, ground) is eclipsed and/or flattened in the strenuous and sometimes idealistic (utopian) seige represented by high-borne modernist formalism (technocratic, positivist, pragmatic, and programmatic). In such scenarios, landscape became an almost nothing, not by design, but by proscription, elimination, and/or abstraction. In this essentialist project, landscape became de-natured space.
In the somewhat delicate, often lyrical case of the pas de deux, landscape is situated at the elective nexus of interpenetrating systems (architectonic and environmental fields), as intermediate condition, or simply noted, in passing, as a surplus value incorporated into the development of the architectural object by juxtaposition. The extension of architectural eIements into the near landscape in the work of Frank Lloyd Wright, Alvar Aalto or Carlo Scarpa, and the penetration of the building by so-called free-flowing or layered space suggests the classical disposition of positive and negative, solid and void, and the articulation if not transformation of architectural forms to fully synthetic forms in the rare instances when landscape and site impregnate architecture with a prescient auratic 'interiority' and/or formal radiance that plays out in an explicit synthesis of verticality and horizontality -- as in early modernist villas -- thereby picturing the contingent, material conditions for architecture's emergence. The most immaterial aspects of ambient environmental factors -- the play of light and shadow -- often provide architecture with an archaic uncanniness (an elemental timeliness) that is purely ephemeral and, most usually, unintended (purely incidental). Ando and Holl are masters of this poetic/phenomenological genre, while others (Gehry) simply accept the inevitable 'patina' of building marked by time. The mutable materiality of architecture supported this embrace of the ambient, as glass curtain walls and metal cladding became ever more common and de-materializations occurred in the genre, noted explicitly by MoMA's mid-1990s exhibition "Light Construction". Dan Graham's mirrored pavilions play wonderfully with this ominiscient quality of glass doubling the field of vision such that the very field of representation breaks down into a prismatic and often kaleidoscopic universe of shards, filters, and superimpositions -- the effect entirely dependent on the setting of the object in the landscape. This latter de-materialization invokes the concept of 'total flow' and the tendency towards objectifying surface at the expense of depth.
Outside of this cyclic, accidental, and discontinuous emergence of sublimated aspects of architecture's implicit ground, a third order of symbolization and abstraction is to be found that represents a preliminary and provisional synthesis of subject/object relations -- i.e., most often a figurative symbiosis built into form and described as gestural or sublime fusion of 'form' and 'content' in sculpture and the hybridized field of land art, most especially, where discursive orders are stripped away and an elemental, generative, and formal essence presses forward. In the case of art, and its near-automatic assumption of conceptual autonomy, the works of Noguchi and Smithson, plus the avalanche of land art-inspired landscape architecture after the 1960s, re-present the archaic and liminal nature of almost-first nature (perhaps 'fourth nature') through hyper-sensual manipulations of form and a presentiment, if not an acclamation, of pre-linguistic forms and seminal structural operations versus aspects of full-blown discourse (full-fledged signifiers). Here, timeliness is reduced to an iconic presence tipping inexorably toward absence (timelessness). These liminal measures most often take the form of excavations or insertions (interventions) that at the least pretend to re-write the codes of occupying or mapping presence. This type of deep-sea diving comes in many forms and is not limited to the delineation of art-in-the-landscape, or art-as-landscape. The concise, inward-driven nature of such expression is primarily poetic and is found in all of the arts. This archaistic jouissance deliberately invokes the ontological ground as a place 'before' -- pre-existent to -- the emergence of the Imaginary (the phantasmatic world of doubled and/or tripled un-realities). These figures play in the dust of the Self, seemingly before the emergence of the Ego (and Super Ego). Such fictive gestures also act as analogs for the extreme interiority of works of art and architecture prior to their deployment as cultural signs and tropes (figures of speech and thought). In the process of stripping away the detritus of signifying chains (modes of expression and discourse), such maneuvers circle the same ground repeatedly. The eventual collapse of the operative figures of near-speech simply occurs as the work vanishes into the annals of art or architectural history. The dissolution of many of Heizer's and Smithson's remote works matters hardly at all given that they were putative gestures at/within 'wilderness' but overt acts of defiance aimed at the production of art and the art world.
From 1930 to 1960, the time of the emergence of high-modern architecture (and the International Style), landscape was effectively subjugated by the ordeal/onslaught of hyper-structural and technocratic instrumentalities -- cultural, political, economic, and otherwise. The image of architecture and the architect as glossy man accompanied the last hurrah for messianic modernism. The high-architectonic was at best complemented by neutral ground/landscape, though most often ground/landscape was 'locked away' in the spatial assault of low-formalist and high-functionalist orthogonal systems -- super-functionalisms. The amalgam that came to be known as corporate modernism, and which was typified by Mies van der Rohe's transcendent glass office buildings (set upon pristine podiums), is/was, according to Cacciari and Quetglas, the pure reification and secularization of the certain abstracted aspects of sacral architectures past. This 'classicism' masked the origins of the modernist experiment in socially-self-conscious experiments in form-making -- e.g., Mies' problematical Berlin period -- and became hypostatized in the omniscent and omnivorous over-production of sterile corporate architectures. Most mid-century modern landscape architecture, following suit, adopted the dominant visual code of geometricism and the architectonic logic of plan libre as the spirit of the age, overthrowing the last vestiges of romanticism, post-romanticism, and the late-Olmstedian picturesque. The latter continued well into the mid-1900s transposed into the form of national parks and interstate transportation systems. In the case of the exemplars of modern landscape architecture (Kiley, Eckbo, Tunnard, Sasaki, and Walker), an attendant minimalism, expressed in seriality and typological reductionism, secured the accommodation of landscape to architecture, albeit through subjugation and abstraction. Gaudi, Burle Marx, and Luis Barragan, on the other hand, appear to represent unique expressions of critical regionalism before it was characterized as such by Kenneth Frampton.
After the 1960s, as the hegemony of abstract planning and object-oriented modern architecture increasingly fell into disarray (and disrespect), various alternative visions emerged alongside post-modernism (after 1968) both reviving and re-negotiating the language of generic historical form and the geometric and material expressions of late-modernity -- modernity being measured, in Lacan's immortal words, "from the Renaissance to the so-called zenith of the twentieth century". In the 1980s, as the last signs of the ecological and vernacular movements of the 1970s faded or were absorbed into a new artistic vision of landscape architecture (including expropriated affects of land art), a new wave of design speculation, which premiated or gave equal merit to ground, submerged the last vestiges of high (mid-century) modernism and the ubiquity of the neo-baroque landscapes of corporate campuses and urban entourage (Walker's "everything 3 meters apart'). Rote geometricism continued as a default methodology in landscape urbanism, especially in the case of 1980s urban projects that sought to revitalize the devastated economic prospects of the city center. The waterfront 'festival marketplace' became the new re-urban model, ending -- thankfully -- with Battery Park City in the late 1980s.
In landscape architecture, various neo-modernist schools attempted a revival of geometricism, but without the stringent and necessary measures of pure (and grave) formalism -- as was occuring in architecture -- while post-modern schools evolved toward a neo-minimalist, sur-rationalist, or neo-mannerist mode of representation. Deconstructivist-inspired landscape urbanism appeared as figurative 'storyboards' in the 1980s and 1990s, primarily in the guise of international design competitions (see Berlin after 1989). Narratology and linguistics permeated the 'extended field' (Krauss) inherited from the 1960s, but failed to secure the poetic task of re-writing the foundational language common to landscape + architecture. Rather than search for primordial pre-linguistic analogs in design languages, linguistics was applied in a very literal, superficial, and artificial manner as 'writing and reading' the landscape. As landscape architecture attempted to re-align the dysfunctional and infrastructural contingencies of the modern city, late-modernism also clashed with New Urbanism. Landscape + architecture fell into vogue, however, only insofar as the type and scale of projects and commissions required the collaboration of multiple disciplines and aesthetic considerations and/or computer-generated modeling softwares promoted convergence (see Parc Downsview Park). This nascent order only tangentially embraced the artistic jouissance of renascent forms of formalism -- that dialectical/synthetic hybridization of milieu and anti-milieu that returns at times of cultural crisis. The deterministic and materialistic (anti-humanistic) systems of planning which evolved from McHarg's system of mapping produced a new wave characterized by its obsession with terrain vague and junk space while new ecological imperatives were advanced in the necessary re-appropriation of post-industrial wastelands, urban and ex-urban. This latter movement, post-McHarg, returned to landscape the dynamic instrumentalities of process-driven design, while adding whole new representational systems and blurring/obscuring relative scales and normative graphic conventions. Montage and mapping were combined to produce a new avant-garde sensibility, even though much of the intellectual rigor of the Dadaist-inspired idiom was off-loaded or simply repressed.
Today, following this historical melange of schools and movements, the always-already deferred synthesis/syrrhesis of landscape + architecture -- that which resides uneasily in the interstices of all instrumentalized and discriminatory systems and/or fields, and that which has been problematized as "in-betweenness" -- may be seen exacting revenge in the form of an irruptive other-worldliness in the operations of various latter-day conceptual artists (the irrepressible avant-gardists). This other-worldliness (which is radically contingent versus transcendental) comes to expression in the form of the attempt to bring/harness the figures and forces (gestures) of things and milieux -- an ambient intellectual and environmental syrrhesis (flowing together) -- that counters cyclical reification, outright expropriation, and rote appropriation. As K. Michael Hayes had pointed out, the late-1990s emphasis on flows (datascapes, vectors, etc) in mostly virtual architectures might, in itself, end in a return to a mere emphasis on imagology and surface without the induction of the intellectual coordinates that support critical-historical consciousness. Virtuality is, afterall, the present-day reified realm of the Imaginary. To this must be added the poetic, inter-textual, and the extreme formalistic gestures harvested from post-structuralism and structuralism. This quest to bring ambient cultural and natural forces to play within the axes of three-dimensional space -- to produce the total work of art -- stands astride the conflicting claims of architecture to be both an art and a science. It is in the latter instance, in architecture as a hyper-conscious (self-conscious and critical) art, that the more profound exemplifications of landscape + architecture will be found. Everything else will proceed per usual.
Gavin Keeney is a landscape architect in New York and writes on the subject of landscape + architecture + other things, a cultural amalgam always-already forthcoming. He is author of On the Nature of Things (Birkhauser, 2000). He can be reached at: ateliermp@netscape.net.
Menurut Bibliotheca
The Bibliotheca Mechanico-Architectonica project, inspired by an idea of Antonio Becchi, Federico Foce and Santiago Huerta, aims to provide a meeting place for anyone dealing in history “between mechanics and architecture”. The material offered to its users facilitates source consultation and allows them to make continuous updates on topics concerning mechanics applied to architecture.
The Bibliotheca works in conjunction with the Between Mechanics and Architecture project set up by Edoardo Benvenuto and Patricia Radelet-de Grave, its first Symposium Entre Mécanique et Architecture being held within the XIX International Congress of History of Science (Zaragoza, August 1993). In the following years, the Between Mechanics and Architecture research group organised several international study events (Genoa 1996, Liège 1997, Pescara 1998) and, in July 1999, after Edoardo Benvenuto’s death (1998), founded the Edoardo Benvenuto Association in Genoa. Since then, the Association has promoted numerious international Seminars and every year has awarded the Edoardo Benvenuto Prize, which is dedicated “to the Science and Art of Building in their historical development”. The Association has also edited the publication of various books which form the “paper home” of the Between Mechanics and Architecture project.
From now on, the Bibliotheca Mechanico-Architectonica will be the “digital home” of the same project, its open source access encouraging communication between researchers and facilitating the study of sources.
The site’s administrators will be grateful to all users who wish to report any inaccuracies, suggest any improvements to be made to the website or contribute to the updating of its bibliographic material (infobma@arch.unige.it).
• Architectonic menurut karya dalam sistem filsafat yaitu :
Asal-Mula Filsafat
Filsafat Melalui Demitologisasi Metafisis
Setelah kita amati pada Pekan I bahwa filsafat lahir dari mitos, kita sekarang harus mengakui bahwa mitos begitu saja bukanlah filsafat. Jalan yang mengarah dari mitos menuju ilmu, melalui sastra dan filsafat, justru bisa disebut "demitologisasi". Istilah ini mengacu pada proses pengambilan "mitos" (dalam pengertian modern sebagai "keyakinan yang keliru") keluar dari mitos--yaitu mempertanyakan keyakinan-keyakinan kita yang tak tertanyakan dengan harapan mengubahnya menjadi ungkapan kebenaran yang lebih andal. Jadi, sebagai misal, ketika saya menyarankan dalam kuliah yang lalu bahwa kita semua harus mengakui "pohon filsafat" sebagai mitos untuk kuliah-kuliah ini, kita sebenarnya tidak berfilsafat. Alih-alih, kita menyiapkan landasan untuk menanam pohon itu sendiri. Sesudah anda menyudahi matakuliah ini, saya harap anda masing-masing akan menyediakan waktu secara serius untuk bukan hanya mempertanyakan mitos, melainkan juga mempertanyakan analogi (puitis) bahwa "filsafat itu laksana pohon". Namun jika anda buru-buru mempertanyakan prakiraan ini di sini, akan anda dapati bahwa landasan benak anda terlalu payah untuk menerima wawasan yang bisa diilhamkan oleh mitos ini kepada kita.
Salah satu wawasan tersebut adalah bahwa, sebagaimana pohon merupakan organik lengkap yang terdiri atas empat bagian utama (akar, batang, cabang, daun), banyak juga, kalau bukan sebagian besar, ide filosofis yang diorganisasikan menurut pola seperti itu. Kita telah melihat beberapa pola tersebut di Pekan Pertama. Namun sebelum kita mengamati beberapa contoh bagaimana demitologisasi berjalan di Yunani kuno, saya akan menunjukkan beberapa pola lipat-empat menarik lainnya.
Jika pola "mitos, sastra, filsafat, ilmu" diakui sebagai paparan perkembangan cara pikir manusia pada skala makrokosmik (yakni budaya manusia), maka kita jangan terkejut mendapati pola serupa yang berjalan pada skala mikrokosmik (yakni individu manusia). Salah satu cara umum terpenting pemaparan tahap-tahap perkembangan individu adalah mengacu pada "lahir, muda, dewasa, dan tua". Dengan mengkorelasikan masing-masing itu dengan tingkat kesadaran yang secara progresif lebih tinggi, muncullah pola yang tampak pada Gambar II.1. Sebagaimana perkembangan dari lahir sampai muda bertepatan dengan pembangkitan benak bawah-sadar (unconscious) anak-anak, maka perkembangan dari muda sampai dewasa pun memerlukan penajaman kesadaran (consciousness) secara bertahap, sampai timbul keinsafan khas akan diri sendiri. Adapun orang yang sadar-diri (self-conscious) yang perkembangannya tidak terselangi akhirnya masuk ke suatu tahap baru yang, karena ingin istilah yang lebih baik, bisa kita sebut super-sadar (super-conscious). Kealiman para orang tua diakui pada semua masyarakat tradisional terutama bukan karena banyaknya tahun-tahun yang mereka alami, melainkan karena cara pikir baru yang terbuka bagi mereka; bila mereka mengambil keuntungan darinya, mereka bisa memandang implikasi yang lebih luas dari hal-hal di luar mereka sendiri.
5. Filsafat Sebagai Dialog Rasional
Garis pembagi tebal dalam filsafat Yunani kuno--garis yang menempatkan para filsuf yang memiliki pandangan yang terlihat jauh dan asing di satu sisi dan para filsuf yang mempunyai pandangan yang dengan jelas tampak lebih relevan dengan urusan filosofis kontemporer di sisi lain--terdapat dalam bentuk seorang filsuf saja yang, sepengetahuan kita, tidak pernah menulis buku. Filsuf tersebut, Sokrates (470-399 S.M.), memberi penafsiran yang benar-benar baru mengenai tugas filosofis, yang implikasi penuhnya merentang sampai duaribu tahun. Kita mengetahui ide dan kehidupan Sokrates terutama melalui tulisan-tulisan seorang pengikut dekatnya, Plato (427-347 S.M.). Bersama-sama dengan murid cemerlang Plato, Aristoteles (384-322 S.M.), orang-orang ini merupakan inti tradisi filsafat Yunani kuno. Meskipun mengingat-ingat kepastian tahun kehidupan mereka tidak penting, urutan masa kehidupan mereka perlu diketahui. Ini mengingatkan kita bahwa Sokrates sudah agak tua manakala ia mempengaruhi Plato muda, dan bahwa ia meninggal sebelum Aristoteles lahir.
Tiga Filsuf Besar Yunani
Kehidupan Sokrates tidak banyak diketahui. Beberapa ilmuwan bahkan mempertanyakan apakah sesungguhnya orang tersebut pernah hidup. Namun demi tujuan kita, kita dapat mengabaikan perdebatan itu karena, walaupun barangkali tokoh itu hanya rekaan Plato dan orang-orang sezamannya, tokoh tersebut telah berfungsi sebagai "mitos" yang menuntun perkembangan filsafat Barat selama lebih dari dua milenium. Sokrates ialah seorang pemikir sejati yang mempraktekkan ucapannya. Sekalipun ia orang Athena yang berstatus tinggi, ia kadangkala sudi menanggalkan kedudukannya di tengah kehidupannya untuk menjalani hidup dengan "sangat miskin" sebagai seorang filsuf (PA 23b). Selama masa itu ia memanfaatkan waktunya untuk menjelajahi kota Athena dengan mengajak orang-orang untuk bercakap-cakap tentang berbagai persoalan. Ia sering bentrok dengan kaum Sofis, para filsuf profesional populer yang melahirkan "kealiman" mereka (dengan ciri khas, penelitian secermat-cermatnya tanpa penerapan semestawi sama sekali) demi uang. Kendatipun ia bersikeras bahwa ia bukan guru (33a), terdapat sekelompok pemuda (salah satunya ialah Plato) yang suka berkerumun mengelilinginya, yang tertarik untuk belajar seni berfilsafat dengan cara baru itu.
Jalan karir Sokrates yang paling signifikan, sebagaimana yang dicatat oleh Plato dalam Apology-nya, bermula ketika kawan lamanya, Chaerefon, bertanya kepada peramal Delfi apakah ada orang yang lebih alim daripada Sokrates. Tatkala Sokrates mendengar bahwa dukun tersebut menjawab "tidak", ia merasa dihadapkan dengan suatu teka-teki yang harus dipecahkan, karena ia yakin [dirinya] tidak pantas disebut alim. Oleh sebab itu, ia bepergian mewawancarai semua orang yang memiliki reputasi alim, seperti politisi, pujangga, dan cendekiawan, dengan harapan belajar dari mereka tentang makna kealiman sejati. Akan tetapi, upaya mereka untuk menjelaskan "kealiman" mereka sendiri senantiasa patah oleh pertanyaan Sokrates yang bertubi-tubi. Mereka tak hanya tak mampu memaparkan dalam hal apa mereka "alim". Sokrates pun di depan umum berupaya "membuktikan" bahwa sesungguhnya mereka tidak alim. Secara alamiah, dengan mempertanyakan semua mitos tradisional yang dianut oleh hartawan dan tokoh di kalangan masyarakatnya, ia mengail musuh banyak sekali! Namun bagi Sokrates, itu tidak penting karena dengan melakukannya ia bisa menemukan "bahwa orang-orang yang berreputasi tertinggi [perihal kealiman mereka] hampir seluruhnya kurang alim, sedangkan kualifikasi kecerdasan-praktis orang-orang lain yang disangka lebih rendah [justru] jauh lebih baik" (PA 22a).
Akhirnya Sokrates menyimpulkan (PA 23a-b) bahwa peramal itu memang mengetengahkan suatu teka-teki, tetapi solusinya merupakan sebutir pil pahit bagi orang-orang yang perlu membela kemuliaan-kemuliaan kealiman manusia demi peran mereka di masyarakat:
[Some people have described] me as a professor of wisdom.... But the truth of the matter ... is pretty certainly this, that real wisdom is the property of God, and this oracle is his way of telling us that human wisdom has little or no value. It seems to me that he is not referring literally to Socrates, but has merely taken my name as an example, as if he would say to us, The wisest of you men is he who has realized, like Socrates, that in respect of wisdom he is really worthless.
([Beberapa orang menggambarkan bahwa] saya ialah guru-besar kealiman.... Namun yang benar ... tentu saja bahwa kealiman sejati merupakan sifat Tuhan dan bahwa peramal itu bermaksud memberitahu kita bahwa kealiman manusia tidak atau kurang bernilai. Tampak oleh saya bahwa ia tidak mengacu pada Sokrates secara harfiah, tetapi hanya mencomot nama saya sebagai contoh, seakan-akan ia berujar kepada kita, "Yang paling alim di antara kalian ialah orang yang, seperti Sokrates, mengakui bahwa dalam hal kealiman ia sebenarnya kurang berharga.")
Memahami implikasi wawasan ini sangat penting jika kita hendak memahami perkembangan filsafat, dan terutama metafisika, dalam duaribu tahun sepeninggalnya. Ini karena dalam pernyataan itu Sokrates dengan jelas menyatakan kriteria pertama untuk menjadi filsuf yang baik: kita harus mengakui kebebalan kita!
Harga yang harus dibayar oleh Sokrates demi wawasan tersebut adalah nyawanya. Para warganegara yang berpengaruh di Athena mengajukannya ke sidang pengadilan, menuduh dia "merusak pikiran pemuda dan memyakini dewa-dewa temuannya sendiri sebagai pengganti dewa-dewa yang diakui oleh negara" (PA 24b). Selama pengadilannya, ia membela diri bukan dengan bermohon belas kasih atau berjanji untuk berperilaku secara lebih beradab, melainkan dengan berpidato secara terbuka dan tajam di depan para penuduhnya. Ia menjelaskan bagaimana kehidupan filosofis merupakan kehidupan yang menghargai kematian. Filsuf ialah orang yang mentaati perintah prasasti pada kuil di Delfi, "Kenalilah dirimu sendiri". Orang yang tidak menerima tantangan ini berada dalam situasi yang menyedihkan, mengingat "kehidupan yang tak terperiksa bukan kehidupan yang berharga" (38a). Memang, Sokrates jelas-jelas menghargai kehidupan yang berperiksa-diri sebagai kehidupan yang mengabdi kepada Tuhan: meskipun ia sengaja menumbuhkan keragu-raguan terhadap perkembangan dewa-dewa dalam tradisi Yunani, Sokrates sendiri menghargai filsafat sebagai kejuruan yang berilham ilahi. Hanya dengan menghidupkan kehidupan semacam itu manusia bisa berbudi luhur dan juga turut mengantar masyarakat yang laik:
For I spend all my time going about trying to persuade you, young and old, to make your first and chief concern not for your bodies nor for your possessions, but for the highest welfare of your souls ... Wealth does not bring goodness [i.e., virtue], but goodness brings wealth and every other blessing, both to the individual and to the state. (30a-b)
(Saya curahkan seluruh waktu saya dengan melakukan upaya membujuk kalian, pemuda dan orang tua, agar kepedulian pertama dan utama kalian bukan demi raga kalian atau pun harta kalian, melainkan demi kesejahteraan tertinggi jiwa kalian ... Kekayaan tidak membawa kebaikan [yakni keluhuran], tetapi kebaikan membawa kekayaan dan segala berkah lainnya, baik bagi individu maupun bagi negara.) (30a-b)
Pernyataan-pernyataan sedemikian itu tentu saja bagaikan tamparan di wajah mereka yang ia ceramahi, yaitu orang-orang yang sebagian besarnya memandang Sokrates selaku (mantan) teman karena ia sendiri pernah menjadi anggota mahkamah tersebut. Jadi, tidaklah begitu mengejutkan setelah suara juri dihitung Sokrates divonis mati (sekalipun dengan selisih yang cukup kecil, 281 lawan 220). Namun menghadapi kekejaman putusan itu, Sokrates menerimanya dengan ketenangan yang tulus, dengan memprediksi bahwa jumlah orang yang mau mempersoalkan status quo--yakni jumlah filsuf--akan meningkat, bukan menyusut, sebagai akibat dari kematiannya (PA 39c)! Alih-alih menyembunyikan ketakutannya akan kematian, ia dengan tegas memaparkan bagaimana tugasnya sebagai filsuf telah menjadi tugas pelajaran tentang cara mati. Demikianlah Apology Plato berakhir (42a) dengan seruan Sokrates: "Kini saatnya kita pergi, saya menuju kematian dan kalian menuju kehidupan, tetapi siapa yang akan lebih berbahagia tiada yang tahu selain Tuhan."
Prediksi Sokrates mengenai pertumbuhan filsafat ternyata akurat. Segera sesudah kematian Sokrates, tulisan-tulisan Plato menyajikan gagasan-gagasan inti Sokrates. Sayangnya, filsuf-filsuf "pascasokrates" terlalu sering enggan untuk mempersoalkan orang-orang yang memegang kekuasaan di masyarakat. Ini sebagian karena pertalian antara filsuf dan "negara-kota" tersebut telah banyak berubah sejak masa Sokrates. Pada masa itu filsafat cenderung diterima sebagai bagian dari status quo, salah satu pokok-persoalan yang harus dikaji dalam perburuan pendidikan "pribadi utuh" (whole person); yang agak mengejutkan, perubahan ini bermula dengan Plato sendiri.
Plato menyajikan pandangan filosofisnya dalam bentuk Dialog-Dialog. Buku-buku ini mengubah kebiasaan Sokrates yang berupa pengajuan pertanyaan yang bertubi-tubi menjadi metode filosofis tertentu. Pada satu tingkat, sebuah Dialog hanya merupakan sebuah buku yang merekam percakapan antara pembicara utama--dalam Dialogues, karya tulis Plato, biasanya Sokrates--dan satu atau lebih tokoh penyerta. Di dalam percakapan itu tokoh utamanya bertindak selaku "bidan" bagi calon wawasan yang menunggu untuk "dilahirkan" di benak tokoh-tokoh lain. (Ibu Sokrates kebetulan berprofesi sebagai bidan.) Dengan kata lain, sebagaimana bidan yang baik melatih ibu yang hamil supaya si ibu bisa melahirkan bayinya (alih-alih sang bidan mengeluarkan bayi dari rahim secara paksa), tokoh utamanya pun mengajukan pertanyaan dan mengemukakan saran yang, sebagaimana adanya, "melatih" tokoh-tokoh penyerta sedemikian rupa sehingga mereka menemukan simpulan yang dikehendaki tanpa harus diberitahu. Namun pada tingkat yang lebih mendalam, kebermaknaan metode baru tersebut terletak pada dorongannya yang kuat menuju wewenang yang lebih tinggi, yakni akal, sebagai juri yang tepat untuk segala perdebatan. Sebagaimana terlukis dalam Gambar II.6, dialog itu dilaksanakan dengan asumsi bahwa wewenang yang lebih tinggi ini, yang sama-sama dimiliki oleh semua orang, mampu menanamkan pemahaman yang lebih mendalam tentang realitas terdalam, atau kebenaran.
• Architectonic Landscape
Second Year Design Studio run by the University of Auckland School of Architecture; this design studio explored various alternatives of social housing in New Zealand. This particular project deals with integration of commercial spaces with residential; architecture with the landscape; revitalization of an underutilized stream with the township. The buildings fold in and out of the landscape to create complexity yet on closer look they are simple and standardized as to make it economically viable for the client. This project demonstrates that the future of social housing need not compromise beauty nor its surroundings.
We consider any portion of the earth observed from an artistic perspective to be “landscape” as it is related to the idea of art: painting, drawing, and engravings… Until recently photography was not included in the afore-mentioned techniques but with theoretical contributions2 and its incorporation as a rightful member in today’s art world we can include it in the curriculum with no fear of raising any controversy.
Landscape is a constant in occidental as well as in oriental art. It represents our identity, our diversity, the memory of the place to which we belong or the reminder of what we saw. We often see “Lost paradise” or metaphorically the emotional situation of human beings represented, whether it be directly or unconsciously. Classic art used it for decorative purposes and the Renaissance converted it into the main focus3 where it was used as the backdrop for other subjects, and those backdrops, which were usually invented, were a way of “adorning” and “giving a certain feeling” to the painting.
Landscape did not attain its independence as a genre until the XVIII century when El Canaletto and Guardi paved the way for landscape artists. It acquired the metaphorical dimension of representing human emotional states in the baroque era, especially with Turner and years later with Impressionism. Visual representation received a dramatic contribution with the arrival of photography- painters were no longer necessary to accurately depict a scene and act as the collective memory- painting was forced to occupy another role. It had to do a 360º turn and represent the emotion of contemplation and it did this by using feeling and experience, what is known as “open-air painting” whose main nucleus is made up of French lead by Renoir, Mane, Monet
Project for examples :
Selasa, 05 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar