Selasa, 05 Januari 2010

Perkembangan Arsitektur Rumah Tradisional Suku Minahasa part 2(perkembangannya)

Berikut tambahan dari yang pertama atau bisa disebut juga perkembangan atau perubahan rumah tradisional suku Minahasa dari jaman dahulu hingga sekarang.

PENGARUH SISTEM KEKERABATAN DAN KEPERCAYAAN PADA ARSITEKTUR TRADISIONAL
Rumah adat Minahasa merupakan rumah panggung yang terdiri dari dua tangga didepan rumah. Menurut kepercayaan nenek moyang Minahasa peletakan tangga tersebut dimaksudkan apabila ada roh jahat yang mencoba untuk naik dari salah satu tangga maka roh jahat tersebut akan kembali turun di tangga yang sebelahnya.
PERKEMBANGAN ARSITEKTUR RUMAH TRADISIONAL MINAHASA
Arsitektur rumah tradisional Minahasa dapat dibagi dalam periode sebelum gempa bumi tahun 1845 dan periode pasca gempa bumi 1845-1945. Sesuai Mamengko (2002), sebelum 1845 adalah masa Tumani, sebelum kedatangan bangsa-bangsa barat di Minahasa, masyarakat telah membuat rumah yang besar di atas tiang-tiang tinggi besar, rumah dihuni 10-20 keluarga batih. Dibangun secara gotong-royong/ mapalus (lihat gambar 1).


Karakteristik konstruksinya, rangka atapnya adalah gabungan bentuk pelana dan limas, konstruksi kayu/ bambu batangan, diikat dengan tali ijuk pada usuk dari bambu, badan bangunan menggunakan konstruksi kayu dan sistem sambungan pen, kolong bangunan terdiri dari 16-18 tiang penyangga dengan ukuran 80-200 cm (ukuran dapat dipeluk oleh dua orang dewasa) dengan tinggi tingginya 3-5 cm, tangga dari akar pohon besar atau bambu Karakteristik ruang dalam rumah, hanya terdapat satu ruang bangsal untuk semua kegiatan penghuninya. Pembatas territorial adalah dengan merentangkan rotan atau tali ijuk dan menggantungkan tikar (Graafland,1898). Orientasi rumah menghadap ke arah yang ditentukan oleh Tonaas yang memperoleh petunjuk dari Empung Walian Wangko (Tuhan).
Konstruksi rumah tradisional Minahasa tahun 1845-1945 (gambar 2)., mempunyai karakteristik yang hampir sama dengan sebelumnya, yaitu atap bentuk pelana atau gabungan antara bentuk pelana dan limas, demikian juga pada kerangka badan bangunan rumah yang terdiri dari kayu dengan sambungan pen, dan kolong rumah terdiri dari 16-18 tiang penyanggah. Perbedaanya hanya tiang penyanggah berukuran lebih kecil dan lebih pendek dari masa sebelumnya, yaitu sebesar 30/30 cm atau 40/40 cm, tinggi 1,5-2,5 meter.

Karakteristik ruang dalam rumah masa 1845-1945 adalah berbeda dengan sebelumnya, karena sudah terdapat beberapa kamar, seperti badan rumah terdepan berfungsi sebagai ruang tamu/ ruang setup emperan, ruang tengah/ pores difungsikan untuk menerima kerabat dekat, dan ruang tidur untuk orang tua dan anak perempuan, ruang tengah belakang tempat lumbung padi (sangkor). Ruang masak terpisah pada bangunan lainnya. Fungsi loteng/ soldor adalah sama dengan masa sebelumnya yang diperuntukkan menyimpan hasil panen.



• Perubahan Fisik Rumah Tradisional Minahasa

Material rangka atap yang dipakai adalah kayu, dan untuk penutup/ pelapis atap digunakan daun rumbia. Perubahan bentuk dan konstruksi atap yang terdapat di Desa Tonsealama terdapat 72,7%, dan di Desa Rurukan terdapat 88,9%. Perubahan fisik rumah tradisional Minahasa nampak pada perubahan konstruksi dan material, sebagai berikut:

1) Perubahan konstruksi atap kasau di Desa Tonsealama menjadi konstruksi atap peran dengan kuda kuda berdiri, perubahan dilakukan setelah 30-40 tahun pembangunan ( pada waktu daya tahan kayu menurun sesuai dengan umur konstruksi kayu).






Material konstruksi atap rumbia diganti dengan atap seng. Perubahan material konstruksi atap di Desa Tonsealama, dilakukan sejak tahun 1920 sampai saat ini, dan di Desa Rurukan perubahan dilakukan sejak 1932 sampai saat ini. Sesuai penuturan penghuni rumah, umur atap rumbia adalah 10-15 tahun, dan saat ini material atap rumbia sulit diperoleh dan kualitasnya menurun karena masa pakainya hanya 1-3 tahun.

2) .Rangka badan rumah tetap, tetapi perubahan nampak pada pengisi konstruksi dinding dan konstruksi jendela. Perubahan konstruksi dinding terjadi setelah bangunan rumah berumur 70 tahun. Material konstruksi dinding terpasang horisontal dirubah dengan memasang secara vertikal (khususnya di Desa Tonsealama). Konstruksi jendela 2 sayap diubah menjadi jendela kaca nako/ jalusi (di Desa Tonsealama dan Desa Rurukan).



3) Perubahan konstruksi kolong rumah terdapat di Desa Rurukan dan Tonsealama, yaitu perubahan pada peran bantalan bawah yang telah diabaikan, akibat dari pengaruh umur bangunan, kayu lapuk dan hancur. Dampaknya nampak pada struktur rumah yang labil, terutama bila beban hidup yang diterima besar. Perubahan juga nampak pada batu alas watulanei yang sudah tenggelam dalam tanah dan diganti dengan beton cor. Perubahan tiang kolong kayu diganti dengan tiang beton, sehingga tidak memerlukan elemen bantalan bawah, skor dan batu alas.

Tinggi kolong rumah tetap dipertahankan 1,5-2,5 meter, karena kolong rumah dimanfaatkan untuk kegiatan sehari-hari. Namun demikian beberapa rumah tradisional Minahasa di Desa Rurukan telah merubah tinggi kolong rumah yang sesuai dengan ukuran dan kualitas kayu.

4) Perubahan elemen tangga ditinjau dari posisi/ perletakan tangga dan jumlah anak tangga. Di Desa Tonsealama masih terdapat (54,5%) rumah tradisional Minahasa yang mempertahankan posisi 2 buah tangga di depan rumah, terletak di samping kiri dan kanan depan rumah, terletak segaris berlawanan arah, dengan jumlah anak tangga ganjil. Posisi letak tangga di Desa Rurukan berbeda, terdapat 66,7% rumah tradisional yang masih mempertahankan masing masing 1 buah tangga yang terletak di depan dan di belakang rumah, pada posisi samping kiri atau kanan rumah, posisi berlawanan arah dan jumlah anak tangga ganjil. Adapun material kayu untuk tangga tetap dipertahankan di Desa Rurukan, tetapi 54,5% rumah tradisional Minahasa di Desa Tonsealama telah mengganti tangga kayu menjadi tangga beton.



5) Perubahan fungsi dan pola ruang. (1) Ruang Loteng. Ruang loteng pada rumah tradisional Minahasa periode 1845–1945 memiliki fungsi antara lain sebagai kamar tidur anak laki–laki, tempat menyimpan hasil kebun. Fungsi ini kemudian berkembang menjadi tempat menjemur pakaian di musim hujan, menyimpan barang–barang atau gudang. Sejak listrik masuk desa ruang loteng tidak difungsikan lagi. (2) Ruang Kolong. Di desa Tonsealama
72.7% dan di desa Rurukan 33.3% telah mengalami perubahan. Lancarnya arus transportasi dan mobilisasi penduduk dari desa ke desa menimbulkan iklim preventif. Di Tonsealama ada yang menjadikan tempat menjual makanan, disewakan untuk menitipkan bendi/delman atau disewakan. Di desa Rurukan disewakan untuk menyimpan kuda pacu. (3) Fungsi kamar tidur tidak mengalami perubahan. (4) Ruang tengah belakang. Di ruang ini tidak lagi ditempatkan sankor atau lumbung padi, tetapi hanya difungsikan untuk ruang makan atau ruang keluarga atau ruang belajar.

(6) Dapur. Terjadi penegasan fungsi dapur. Fungsi dapur menjadi lebih khusus sebagai tempat memasak saja di dapur kering dan tempat mencuci peralatan dapur dan bahan untuk dimasak di dapur basah. (7)Pola rumah tradisional Minahasa di desa Tonsealama berbeda dengan di desa Rurukan. Di desa Tonsealama, denah awalnya simetris, sama dengan bentuk asli rumah tradisional Minahasa. Di desa Rurukan sejak didirikannya, denah awal rumah telah asimetris. Di desa Tonsealama terdapat 72.7% rumah dan di desa Rurukan hanya 11,1 % yang pola tatanan ruang awalnya sama dengan bentuk asli, 88.9% lainnya telah berubah. Kamar tidur tambahan diletakkan di depan atau di belakang pada salah satu sisi letak kamar tidur yang ada. Perubahan lain adalah perubahan perletakan dapur. Saat didirikan letak dapur terpisah dari rumah utama/induk. Sekarang dapur ditempatkan di dalam rumah utama/induk berdampingan dengan ruang makandan dapur sabua dijadikan dapur basah.

•Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan Fisik dan Perubahan Penggunaan Ruang Dalam Rumah Tradisional Minahasa

Beberapa faktor yang mempengaruhi perubahan fisik konstruksi rumah tradisional Minahasa adalah; 1)Faktor status kepemilikan rumah dan lahan mempengaruhi kualitas perawatan fisik rumah, sesuai Turner (1976), tanpa adanya jaminan kepastian tentang status kepemilikan rumah dan lahan, penghuni rumah tidak merasa aman untuk menginvestasikan dananya pada rumah tempat tinggalnya. Akibatnya kayu lapuk, dan diganti seadanya telah mempengaruhi sistim konstruksi rumah tradisionalnya 2)Faktor ekonomi penghuni mempengaruhi perubahan material konstruksi rumah. Penggunaan material-material baru pada rumah tinggal menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi penghuninya.

Adapun faktor faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan ruang dalam rumah adalah; 1) Faktor kebutuhan ruang, karena bagi keluarga di Desa Tonsealama dan Rurukan, rumah tidak hanya untuk pemenuhan kebutuhan fisiologis dan kebutuhan rasa aman saja, tetapi telah meningkat pada kebutuhan untuk bersosialisasi. Ruang tidur dipindahkan pada satu sisi bangunan, untuk memperoleh ruang tamu yang luas untuk dapat beribadah bersama keluarga dan tetangga di lingkungannya (aktivitas beribadah kolom). 2) Faktor perkembangan teknologi juga mempengaruhi perubahan fisik rumah, karena pengolahan hasil produksi padi, jagung sudah mempergunakan mesin pemipil dan mesin pemilah, sehingga penghuni rumah tidak membutuhkan lagi ruang penyimpanan di loteng atau sangkor.

2 komentar:

  1. KALO NGAMBIL karya orang... kasih saduran aslina mbak..

    BalasHapus
  2. Ini karya saya kok cuma dicopas ndak pakai permisi to mbak. yang sopan sedikit lah, hargai karya saya.

    BalasHapus